Refleksi Pemikiran Michel Foucault tentang Discipline and Punish dan Penggunaannya dalam Sejarah Sosial



Perjumpaan antara sejarawan dan teoretisasi sosial tidak pernah putus sama sekali. Dalam dua puluh tahun terakhir, kecenderungan ini terus berlanjut. Semakin banyak antropologiawan, sosiologiawan bahkan filsuf modern yang memasuki dimensi sejarah dalam kajian-kajiannya. Terdapat alasan yang jelas antara keakraban teori sosial dengan sejarah, dimana dinamika perubahan sosial menarik perhatian ilmuwan lintas disiplin ilmu mengkaji kembali obyek-obyek studi dan tergoda untuk memperluas penyelidikannya hingga jauh ke masa silam.[1]Sementara itu, gelombang pergeseran peminatan sejarawan untuk meninggalkan tema-tema sejarah politik yang tradisional (psejarah penguasa) mulai mengalami kecenderungan erubahan menuju kea rah sejarah sosial. 

Disisi lain, menurut Peter Burke, penolehan minat kepada teori dipihak sejarawan sosial dan penolehan kepada sejarah dipihak filsuf atau teoretisasi sosial akan mendapat sambutan baik dalam perkembangan ilmu pengetahuan manusia.[2] Michel Foucault dan pemikirannya merupakan perumpamaan yang baik untuk merepresentasikan korelasi antara peggunaan teori-teori sosial yang eksis dimasa modern untuk mendekati dan menjelaskan fakta-fakta masa lalu. Foucault banyak mengambil focus kajian tema-tema Sex, kriminalitas, kegilaan, agama, psikiatry, hal ini dikarena menurut Faucoult manusia memiliki pengalaman dasar manusia terhadap hal ini. Maka sering tidak benar jika filsafat sering dikatakan diawali dari tidak empiris, ada yang dimulai dari model  pendekatan empiris seperti yang dilakukan Faucoult. Faucoult mengidentifikasi dimana ada relasi kekuasaan, ketika ada larangan dan penafikan maka disitu ada relasi kekuasaan.

A. Sumbangan pemikiran Faucoult terhadap Perkembangan Sejarah Sosial
Pemikiran Foucault tentang sejarah sebenarnya juga dipengaruhi oleh pandangan posmodernisme.  Foucault sendiri dapat dimasukkan dalam kelompok strukturalis karena adanya persamaan pandangan dengan aliran strukturalisme. Dalam strukturalisme, jaringan hubungan dan diskontinuitas merupakan faktor penting daripada sekedar fakta-fakta dan bahan-bahan yang dipertautkan oleh hubungan itu. Sistem atau struktur hubungan dianggap lebih penting dari fakta dan sejarah terbentuknya sistem atau asal-usul sistem.

 Karya Foucault (1926-1984) merupakan suatu kontribusi filosofis terhadap teori tentang kebenaran (The theory of truth). Beberapa karyanya misalkan: Kelahiran klinik (the birth of the clinic, 1976) psikiatri (Madness and civilization,1971), hukuman pidana (Discipline and punish, 1979) dan seksualitas (the history of sexuality, 1979). Daripada menyusun teori tentang subyektivitas konstitutif, Foucault justru mengeksplorasi praktik-praktik diskursif serta wujud-ujud kekuasaan yang membentuk subyek.

 Dibandingkan menyusun teori-teori logis tentang kebenaran, Foucault justru menggagas teori tentang rejim kebenaran dan teori tentang hubungan antara kebenaran dan kekuasaan. Ketika ada pemisahan dan penolakan, disitu relasi kekuasaan jelas. Ketika ada oposisi benar salah, Facoult mengatakan kebenaran adalah penggunaan kekerasan dan prosedur intern pembatasan. Kekuasaan tidak pernah mengakui salah dan selalu afirmatif, ini yang menyebabkan dimana ada afirmasi pasti ada resistance (perlawanan)terhadap penguasa.

Foucault cenderung untuk menyajikan kepada kita suatu sejarah sosial yang ditandai oleh diskontinuitas diskursif maupun bentuk-bentuk kekuasaan pengetahuan dibandingkan membangun rasionalitas mengenai sejarah. Ia berfokus tidak hanya dengan diskontinuitas, dengan menggambar garis tajam antara pandangan dunia atau teori-teori ilmiah dan antara masa kini dan masa lalu, tetapi juga artikulasinya daripada hubungan kausalitas. Diskontinuitas ditandai oleh transformasi revolusioner yang mengubah cara untuk memahami alam semesta, masyarakat, dan umat manusia. Dengan demikian masa lalu sistem meskipun tidak dapat dipahami, apalagi dievaluasi,dihadirkan pada dasar pengetahuan dan pemahaman.[3]
 
Dalam ilmu sejarah, apa yang menjadi fokus kajiannya bukanlah sejarah masa lalu yang berhubungan dengan masa kini, akan tetapi perhatiannya tertuju pada sejarah masa kini. Foucault berpendapat bahwa setiap masa sejarah mempunyai sistem pemikiran yang menentukan bagaimana pengetahuan dapat dipraktekkan pada masa tersebut. Setiap jaman memiliki dan mendefinisikan wacananya sendiri, dimana definisi-definisi itu dapat berubah secara radikal dari satu periode ke periode lain, yang berarti terjadi keretakan episteme dan diskontinuitas. Foucault juga melihat bahwa segala sesuatu bersifat subjektif dan tidak ada yang objektif.[4]

Karya-karya Foucault juga dapat dipandang sebagai kontribusi terhadap perkembangan teori kebudayaan dalam teori sosial. Menurut Peter Beilharz,[5] Structuralisme ala Foucault adalah kemungkinan penerapan awal metode scientific, berlabel 'arkeologi' atau 'genealogi', yang bisa membedakan proses perubahan sosial secara sadar. Seperti metode arkeologi atau silsilah di tangan Foucault berusaha melacak proses “tidak terfikirkan” yang mengatur struktur sosial segala sesuatu. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan positif pengetahuan bawah sadar.

Foucault berusaha menerapkan strukturalisme aturan pembentukan sosial dimana wacana tertentu menjadi sangat berlapis dalam kehidupan sosial. Dalam Order of Thing (1966) dan arkeologi pengetahuan (1969), Foucault mulai menganalisis produksi pengetahuan modern dengan metode 'menggali' ke masa lalu. 

Menurut Best dan Kellner, karya Foucault “discipline and punish” menandai peralihan metodologi Foucault dari arkeologi ke genealogi. Sebuah transisi menuju teorisasi yang lebih tepat mengenai institusi dan bentuk bentuk kekuasaan material. [6] Arkeologi dan genealogi memiliki kesamaan yakni meneliti bidang ilmu sosial untuk mengidentifikasi keberlangsungan sebuah diskursus untuk menghadirkan fakta-fakta historis. Perbedaannya, dalam genealogi Foucault lebih memperhatikan kondisi material wacana (yang diartikan sebagai peristiwa politik,praktik ekonomi,institusi). Faucoult juga mendorong penulisan sejarah dari wacana-wacana yang tersingkirkan, dilupakan, tidak dianggap, atau diabaikan. Foucault melihat ada hal yang tersembunyi dibalik pemenjaraan.

Metode analisis genealogi Faucoult dapat digunakan dalam analisis kajian sejarah dimana ia melihat sejarah merupakan upaya untuk melakukan delegitimasi masa sekarang dan memisahkannya dengan masa lalu, dan masa lalu asing bagi masa sekarang. [7]

Penekanan Faucoult yakni ia tidak bermaksud mengklaim bahwa genealogi (yang diadopsi dan dimodifikasi dari pemikiran Nietsche) membuktikan masa lalu secara tidak langsung eksis dan menghidupkan masa sekarang, namun bagi Foucault genealogi merupakan jalan untuk menemukan kemungkinan lain seperti penyimpangan, kecelakaan, kesalahan perhitungan. Genealogi bukanlah narasi sejarah yang besar namun upaya untuk menemukan penundukan atau untuk menemukan kekuasaan/pengetahuan.

B. Teori Faucoult tentang Pemenjaraan Sebagai Praktik Pendisiplinan Tubuh
Munculnya pemenjaraan sebagai bentuk penghukuman menandai perkembangan penghukuman yang lebih manusiawi. Pemenjaraan bukan lagi dimaksudkan sebagai penghukumna yang menyiksa, melainkan reformasi pelanggar hukum menjadi individu yang pro-sosial. Kemunculan penjara juga memandai masa peradilan pidana yang modern menggantikan praktik-praktik penghukuman eksekusi dan penyiksaan.

Berdasarkan konsep genealogi terhadap pemenjaraan didalam discipline and punish (1975), konsep pemenjaraan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah praktik penghukuman yang dilakukan menggunakan teknologi pendisiplinan dalam bangunan panoptikonik. Studi Foucault memetakan tentang munculnya “masyarakat disipliner” sebagai akibat dari masyarakat yang didominasi oleh “tontonan panggung eksekusi”.

Ada dua aspek yang menjadi ciri utama pemenjaraan yang membedakan dengan bentuk pemenjaraan lain, seperti hukuman mati atau corporal punishment (hukuman terhadap badan), yaitu adanya teknologi pendisiplinan, dan dilaksanakan dalam desain bangunan fisik yang menjadi bagian dari teknologi pendisiplinan itu sendiri, yaitu desain panoptikon. Oleh karenanya, analisa terhadap konsep manusia yang terpenjara adalah analisa terhadap seseorang yang ditundukkan melalui teknologi pendisiplinan.

Menurut Anthony Elliot, (2014), Disiplin dan menghukum menegaskan bahwa kerangka kerja kelembagaan penjara memiliki asal dalam Panopticon, sebuah organisasi proposal untuk pengobatan pelanggar diajukan oleh filsuf sosial Jeremy Bentham abad kesembilan belas. [8]'Panopticon' adalah istilah Bentham digunakan untuk serangkaian proposal dia mencoba untuk menjual kepada pemerintah Inggris untuk pelatihan ulang pikiran seorang penjahat dari irasional hukum-melanggar hukum-berikut rasional. Desain Panopticon Bentham yakni sebuah penjara dengan bentuk melingkar, dengan seorang penjaga di sebuah menara pusat yang menghadap ke sel-sel tahanan. Tujuan dari desain ini adalah untuk membuat mustahil bagi tahanan untuk mengetahui apakah mereka masih diawasi atau tidak sehingga meskipun tidak diawasi, mereka tetap akan patuh dalam hukuman disel penjara.

Praktek penundukan manusia dilihat sebagai praktek kekuasaan yang selalu tersimpan dalam setiap praktik mikro masyarakat, dan regularitas bertindak untuk menyimpan diskursus kekuasaan yang menundukkan manusia. Fokus utamanya adalah bekerjanya kekuasaan dalam praktek pemenjaraan.

Menurut Best and Kellner (2003), Penjara dalam analisis Faucoult disebut sebagai institusi penguasaan terhadap manusia, melalui mekanisme disiplin. Disiplin penjara membentuk individu, dimana kedisiplinan merupakan teknik kekuasaan yang memandang individu sebagai obyek dan lingkungan instrument latihannya. Tujuan disiplin adalah normalisasi, yaitu upaya untuk menghilangkan ketidakteraturan sosial, psikologis, dan subyek melalui pembentukan kembali pikiran dan badaniah.

Foucault justru melihat pengorganisasian di bidang cara kerja Panoptical bekerja di organisasi yang lebih modern, seperti usaha mental, sekolah, rumah sakit, dan militer dan layanan rahasia. Dalam budaya kontemporer, mengatakan Foucault, kekuasaan yang dipaksakan pada orang-orang melalui pengawasan birokrasi populasi, pengumpulan informasi rutin, dan pemantauan terus-menerus kehidupan sehari-hari; Akibatnya, zaman modern adalah salah satu 'panopticism', sebuah masyarakat di mana individu semakin terjebak dalam sistem kekuasaan dalam dan melalui visibilitas yang merupakan sarana utama kontrol sosial.
 
Orang-orang dalam posisi kekuasaan menggunakan kepentingan simbolis, mereka berusaha untuk mengontrol kebijakan wacana apa itu dapat diterima dan tidak dapat diterima dalam masyarakat pada umumnya. Dari wacana berubah ke praxis sosial, mengindikasikan bahwa wacana itu sudah menjadi  tindakan  yang mendikte cara bertindak dan bersikap manusia. Misalkan saja definisi perempuan cantik awal abad 20  adalah wanita yang gemuk, dengan asumsi karena yang gemuk adalah orang kaya, dan yang cantik adalah anak orang kaya. Dari wacana ini kemudian menghasilkan Praktik yang mengorganisir adanya pemilihan kontes kecantikan, orang menyatakan cantik adalah langsing, putih, rambut terurai, sehingga memunculkan produk whitening, salon kecantikan laku.

Bryan Turner dalam Elliot (2014:96) meluaskan ide-ide  Foucault dengan menganalisis yang regularisasi diri, rasionalisasi diet dan disiplin tubuh. Wacana Diet, terhubung ke mikropolitik dari tubuh manusia, karena itu terdapat transfer tanggung jawab disiplin diri ke dalam tangan subyek manusia. Pertumbuhan dietetika dan ilmu sosial konsolidasi pengelolaan administrasi konsumsi makanan berkembang sebagai bagian dari bio-politik dari populasi, sejauh ini melibatkan peraturan individu, Kesehatan, dan kematian. Menganalisis munculnya pengetahuan teknis ahli (obat, Diet, ilmu sosial) sebagai terjalin dengan pengelolaan politik populasi yang dilakukan oleh pemerintah.

Dociles bodies, demikian Foucault menggambarkan bentukan kuasa disiplin. Seperti yang ditulis oleh George Ritzer (2005:97) bahwa disiplin adalah mekanisme untuk menerapkan dominasi. Didalam penjara, disiplin ini diperlakukan dalam bentuk penerapan daftar kegiatan beserta waktu pelaksanaan, dengan control yang ketat setiap hari. Sehingga, tubuh dibentuk sebagai sasaran, dijadikan praktek, hingga muncullah tubuh-tubuh yang patuh dan terdisiplinkan oleh penjara-penjara aturan yang diproduksi lewat kekuasaan.

C. Penerapan Teori Foucault tentang Pemenjaraan dan hukuman dalam Penulisan Sejarah Sosial
Penggunaan teori Foucault tentang Discipline and Punish dalam tulisan sejarah dapat ditemukan dalam konsep Pemenjaraan, pada kerangka ini penjara tidak hanya dilihat sebagai bentuk penghukuman saja namun juga bagian dari upaya penguasaan. Angela Davis (2003) melihat kuatnya pengaruh struktur dan kultur masyarakat terhadap pemenjaraan. [9]

Misalnya, sejarah perbudakan dan rasialisme telah mempengaruhi sistem pemenjaraan di Amerika Serikat. Menurutnya, penjara tidak ubahnya seperti tirani perbudakan dan rasisme. Terdapat persamaan antara perbudakan dengan pemenjaraan. Keduanya adalah institusi yang melakukan subordinasi subyek-subyek kepada kehendak yang lain. Seperti perbudakan, narapidana mengikuti rutinitas harian yang ditentukan oleh otoritas. Beberapa tulisan yang bisa dijadikan rujukan penerapan teori Foucault tentang konsep perbudakan dianggap sebagai praktik pemenjaraan ini adalah buku karangan Robert Van Niel, “Sistem tanam paksa di Jawa”, yang menjelaskan tentang bagaimana rakyat terpenjara oleh belenggu aturan sewa tanah pada masa sistem tanam paksa dijawa serta dampak diperkenalkannya industrialisasi perkebunan yang mengatur produksi tanaman-tanaman ekspor dan melarang tanaman yang tidak laku dipasaran internasional begitu memunculkan kelaparan dikalangan rakyat.

Teori Foucault tentang pemenjaraan untuk menjelaskan sejarah sosialjuga dapat dilihat dari buku karya John Rossa yang berjudul” Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 september dan Kudeta Soeharto (2008) dan Karya Robert Cribb berjudul “Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966” sangat baik dijadikan contoh tentang kekerasan terhadap eks-tahanan politik yang menggunakan teori pemejaraan Foucault. Bentuk pembersihan menyeluruh yang dilakukan oleh pemerintah. Banyak massa di akar rumput (grassroot) yang menjadi anggota organisasi-organisasi terlarang itu serta orang-orang yang kemudian dianggap sebagai bagian dari PKI dan ormas-ormas terlarang itu, ditahan (banyak juga diantaranya yang dibunuh) lalu dilepaskan kembali dengan menyandang predikat eks tapol. Mereka kemudian mendapat kontrol ketat dari negara (militer). 

Jaring perangkap untuk membelenggu eks tapol semakin kuat saat dikeluarkan surat  tentang aturan “surat keterangan tidak terlibat G 30 S/PKI”. Surat ini sesungguhnya untuk membatasi dan mengawasi secara ketat gerak eks tapol. Secara formal mereka tidak akan mungkin mendapatkannya. Dalam penyempurnaan pemerintah Soeharto mngeluarkan surat “keterangan” ini diberikan untuk keperluan menjadi pegawai pada lembaga-lembaga, badan, instansi dan dinas-dinas pemerintah dan perusahaan-perusahaan pemerintah dan bahkan perusahaan-perusahaan swasta vital yang ditetapkan oleh pemerintah. 
Termasuk juga mendaftar masuk pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah guna menjadi pegawai negeri termasuk ABRI. Kewenangan pemberian surat ini dilimpahkan pada pihak kepolisian dimana surat ini juga berguna untuk pindah domisili atau bepergian ke luar kota atau keluar negeri. Eks tapol yang tidak bisa mendapatkan surat ini, tidak mungkin dapat bergerak bebas keluar kota atau keluar negeri dan mendapat pekerjaan formal menjadi pegawai negeri atau swasta.  Inilah dimensi kekerasan struktural yang dilakukan oleh negara. Dalam pandangan Jamil Salmi, aturan pelarangan melalui “surat keterangan” ini menjadi salah satu bagian dari bentuk kekerasan represif yang merujuk pada pencabutan hak-hak dasar selain hak untuk hidup, yaitu hak sipil, hak politik dan hak sosial[10]

Selain itu, contoh lain dari praktik pemenjaraan adalah sebuah buku Lewat buku menawan mengenai sebuah tema yang tidak dibicarakan untuk waktu yang lama yakni “ Nyai dan pergundikan di Hindia-Belanda” karangan Reggy Baay. Buku ini dilengkapi literatur tidak kurang dari 200 buah itu, dimana penulis hendak memprotes ketidakadilan terhadap wanita Pribumi oleh penguasa penjajah pada saat itu. Buku ini mengurai konsep-konsep pemenjaraan kepada para perempuan yang dijadkan gundik, atau yang dikenal dengan panggilan “nyai, yang mewakili deskripsi perempuan Pribumi, Tionghoa, dan Jepang yang hidup bersama lelaki Eropa di masa Hindia Belanda, terlihat melalui praktik pemerasan ekonomi, perbudakan dan bagaimana seorang ibu dipisahkan dengan berbagai cara dari anak kandungnya.






DAFTAR PUSTAKA

[1] Anthony Elliott. 1964.Contemporary Social Theory: an Introduction. Second Edition.hlm.95
[1] Wallerstein. 1974. The modern world-system, Newyork.

[1] Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial. Edisi kedua. Yayasan obor Indonesia.

 [1] Michel Foucault. 1995. Discipline & Punish: The Birth of the Prison, New York: Vintage Books

[1] Michel Foucault. 2007. Order of Thing: Arkeologi ilmu-ilmu kemanusiaan. Yogyakarta: Pustaka pelajar

[1] Christopher Llyod. 1986. Explanation in social History. Basil Blackwell Ltd. Hlm.261

[1] Peter Beilharz (Ed). 1992. Social Theory: a Guide to Central Thinkers. Sydney: Allen & Unwin Pty Ltd

Best, Steven, dan Douglas Kellner.2003. Teori Postmodern: interograsi kritis. Gresik: Boyan Publishing

[1] Sunardi.2006. Nietszche. Yogyakarta: LKIS
[1] Davis,Angela.2003. Are Prisons Obsolete. New York: Seven Stories Press

[1]Jalmi Salmi. 2003. Kekerasan dan Kapitalisme, pendekatan baru dalam melihat hak-hak asasi manusia, Yogyakarta: komite untuk anti kekerasan (KUAK) dan Pustaka Pelajar

John Rossa.2008.” Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 september dan Kudeta Soeharto (2008) Bandung: Hasta Mitra


[1] Wallerstein. 1974.The modern world-system, Newyork.hlm.118
[2] Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial.Edisi kedua. Yayasan obor Indonesia.hlm 27
[3] Christopher Llyod. 1986. Explanation in social History. Basil Blackwell Ltd. Hlm.261
[4] Michel Foucault. 2007. Order of Thing: Arkeologi ilmu-ilmu kemanusiaan. Pustaka pelajar.hlm.61
[5] Peter Beilharz (Ed), Social Theory: a Guide to Central Thinkers. Allen & Unwin Pty Ltd.hlm.127
[6] Best, Steven, dan Douglas Kellner.2003. Teori Postmodern: interograsi kritis. Gresik: Boyan Publishing
[7] Sunardi.2006. Nietszche. Yogyakarta: LKIS

[8] Anthony Elliott. 1964.Contemporary Social Theory: an Introduction. Second Edition.hlm.95
[9] Davis,Angela.2003. Are Prisons Obsolete. New York: Seven Stories Press.
[10] Jalmi Salmi, Kekerasan dan Kapitalisme, pendekatan baru dalam melihat hak-hak asasi manusia, Yogyakarta: komite untuk anti kekerasan (KUAK) dan Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 29-41.
[11] Tentang “tubuh-tubuh patuh ini” lihat penjelasan dalam Michel Foucault, Discipline & Punish: The Birth of the Prison, New York: Vintage Books, 1995, hlm.135-169.
[12] Jalmi Salmi, loc.cit.

Comments

  1. TERIMAKASIH ATAS LITERATUR YANG SANGAT MEMBANTU DAN BERMANFAAT, SEMANGAT!!!!!!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

GEGER TENGGER : PERUBAHAN SOSIAL DAN PERKELAHIAN POLITIK

Highlight "The Textuality of Archive" by Andrew Prescott

Melacak Jejak Kisah-Kisah Sejarah dalam Al-Qur’an