GEGER TENGGER : PERUBAHAN SOSIAL DAN PERKELAHIAN POLITIK
Judul Buku : GEGER TENGGER : Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik
Penulis : Robert W Hefner
Pengantar : Martin Van Bruinessen
Penerbit
: LKIS
Tebal
Halaman : xxxviii + 447 halaman
Cetakan
Pertama : Juni 1999
Robert W.
Hefner ialah Antropolog yang berhasil mengemas karya etnografi dengan informasi
dalam kajian menggunakan pendekatan historis. Buku ini terdiri dari delapan Bab
yang mengurai permasalahan berkaitan dengan perubahan ekonomi dan sosial
masyarakat tradisional di Lereng gunung Tengger dengan membandingkan antara nilai-nilai
lama/ belief system masyarakat dataran tinggi dengan nilai nilai modern (baru) dataran
rendah serta membentuk hierarki yang kompleks dari masa pra kolonial hingga
Orde Baru sebagai klimaksnya. Berikut adalah penjabaran dari setiap bab:
Pada bab I
sebagai Pendahuluan: Jawa Pegunungan dalam Sejarah dan Teori Sosial
menyajikan referensi tentang latar belakang sejarah dan perubahan-perubahan
sosial baik melalui politik, ekonomi bahkan islamisasi melalui analisis secara
historisme dan komparatif. Beliau menelaah perubahan-perubahan sosial beserta
pengaruhnya, sejak zaman prakolonial hingga masa kini. Hefner membahas tentang
perubahan bentuk ekonomi dan masyarakat di Tengger, Jawa Timur.
Analisisnya
berangkat dari pendektan ekonomi konvensional dalam berbagai cara.Pertama,
ditekankan bahwa individu dirumuskan dalam rangka nteraksinya dengan orang lain
disekelilingnya, bukan dengan cara introspeksi menyendiri model ekonomi
neoklasik, dimana konsumen dianggap sebagai “raja”. Kedua, pendekatan yang
menempatkan masalah identitas dan komunitas pada inti kajian, mengingat bahwa
perilaku sosial dibmbing oleh suatu lingkup “komitmen” yang luas daripada
sekedar utilitas pasar, dan oleh suatu pengertian tentang diri (self) yang
lebih kompleks.
Hefner menyoroti
masalah berkaitan dengan kelas, komunitas dalam perubahan ekonomi serta isu-isu
identitas masyarakata ditengah perubahan ekonomi. Selama berabad-abad penduduk
wilayah tengger selalu mengidentikan dirinya sebagai orang gunung (wong gunung)
yang berbeda dengan “orang dataran rendah”(wong ngare). Istilah ini mereka
unakan untuk menunjukan perbedaan dalam masalah hierarki dan pola interaksi.
Menurut pendapat orang gunung, masyarakat dataran rendah sangat tidak adil(hal
ini dilihat dar banyaknya orang yang tidak punya tanah, dan tidak memiliki
toleransi agama. Orang gunung dianggap tidak terbuka dan pretensius sedangkan
orang dataran rendah dianggap tidak ramah dan sadar status, dll.
Tradisi orang
gunung mempunyai basis komunal yang sangat kuat. Mereka percaya bahwa penduduk
berasal dari satu nnenek moyang dengan kepercayaan animisme dinamisme. Hal ini
dapat dipahami karena masyarakat pegunungan wilayah tengger menerima penduduk
imigran yang jumlahnya lebih banyak daripada penduduk aslinya. Sekalipun
demikian, masyarakat gunung kurang mengalami stratifikasi dibandingkan orang
dataran rendah, serta mempertahankan formasi sosial yang khas.
Perbedaan
tersebutlah yang akar memicu konflik dikarenakan perubahan yang paling
sederhana sekalipun menimbulkan tantangan terhadap nilai-nilai lama yang terus
menjadi perdebatan dan melahirkan gesekan ditengah hubungan sosial yang begitu
cepat berubah. Hefner bahkan dengan terang terangan menyebut Masyarakat Suku
Tengger sebagai Jawa yang berbeda berdasarkan latar belakang regionalnya,
dikarenakan Tengger adalah salah satu dari Jawa-Jawa lain yang paling beragam
kondisi ekologisnya dan dengan bermacam tradisi masyarakatnya.
Bab II Politik dan komunitas dalam sejarah Pra Modern
Hefner
memberikan argumentasi bahwa gejala kontras antara daerah rendah dan dataran
tinggi tidak berkembang menjadi perpecahan kesukuan penuh, karena wilayah
pegnungan sangat terpengaruh oleh berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat
sekitarnya. Sekalipun terisolasi dari pengaruh keratin yang telah mengubah
kebudayaan masyarakat Jawa Tengah pada abad XVII M, masyarakat Tengger
terbangunpada abad XIX M ketika mereka dipaksa bergabung dengan suatu kekuasaan
baru yang lebih besar, yakni okupasi pemerintah kolonial Belanda.
Hefner
menarasikan dengan sangat rigid terkait kondisi pasuruan, wilayah suku Tengger
bermukim di Masa colonial dengan memfokuskan pada persoalan imigrasi dari Jawa
Tengah dan Madura akibat diukanya lahan perkebunan kopi dan tebu menarik
penduduk luar untuk mendekati sumber perekonomian baru sehingga melipatgandakan
penduduk dari 37.000 pada tahun 1807 menjadi 11.000 pada 1831.
Penguasaan atas
lahan penduduk Tengger asli melalui pendudukan sejumlah wilayah frontier
pegunungan yang didominasi oleh imigran dengan maksud berupaya mengatur
pembukaan hutan baru untuk pertanian keluarga. Bahkan hampir semua imigran
mendapat 2 hektar lahan. Pada akhir XIX M, luas lahan terbuka berkurang ketika
pembangunan jalan dan imigran daerah dataran rendah mulai masuk menyerbu
pegunungan dan mendesak lahan warga Tengger. Pada 1910-1920, lahan-lahan
pribadi diperiksa, batas-batas desa ditentukan, hutan-hutan ditanami kembali,
serta sisa lahan pemerintah dibagikan ekmbali kepada petani setempat. Namun
masa perambahan tanah pegunungan tidak serta merta berakhir.
Penduduk
Tengger bertambah pesat pada puncak penanaman kopi antara tahun 1840-1850.
Pembangunan jalan melancarkan gelombang erpindahan imigran menuju wilayah
pegunungan. Seiring dengan itu, infrastruktur mulai berkembang dimana perubahan
dalam pertanian hanyalah satu dari srangkaian perkembangan yang mengubah bentuk
wilayah pedalaman pasuruan abad XIX M.
Masalah ekologis yang berkaitan dengan pembabatan
hutan akhirnya mendorong dikeluarkannya sebuah undang-undang pada tahun 1874,
yang mengharuskan agar izin untuk membuka lahan baru dikeluarkan oleh pejabat
pada tingkat kecamatan, bukan kepala desa. Sehingga pemerintah kolonial
membentuk departemen kehutanan pada tahun 1879 untuk mengurusi hutan yang
ditebangi secara besar-besaran oleh perusahaan kolonial sebelumnya (Furnivall
1944,180-201);Donner 1987,346), Pemerintah Kolonial tahun 1899 mengeluarkan undang-undang
sewa tanah yang mengatur kembali perbatasan desa, yang menyatukan desa-desa
kecil menjadi wilayah administrasi yang lebih luas. Dalam abad XX M, dataran
tinggi Pasuruan telah sepenuhnya terintegrasi ke dalam struktur dan proses
kolonialisme Eropa.
Bab III Sejarah Pertanian: Intensifikasi dan Degradasi
Hefner banyak
menggunakan pendekatan model pertanian yang dipakai oleh Clifford Gertz dalam
bukunya”Agricultural Involution” dalam mengidentifikasi kualitas ekologi
persawahan yang memungkinkan menyerap suatu bagian besar populasi Selma masa
kolonial.Hefner menunjukkan angka-angka statistic pertumbuhn penduduk
1927-1985, dan menjelaskan konsep atau model pertanian pada masa pra-kolonial
hingga proses pembentukan pasar di abad XX M di dataran tinggi dan
laporan-laporan yang dihimpun penduduk dataran tinggi mutlak bergantung pada
pasar didataran rendah, dan orang-orang gunung mengkonsumsi sedikit dari produk
tanaman komersial mereka sendiri dan melakukan transaksi barter beras dengan
daerah dataran rendah.
Pada masa penakhlukan Islam atas hindu, petani-petani
Hindu lereng gunung mundur perlahan ke suatu wilayah yang kurang terjangkau
pada dataran tinggi tengger. Meskipun demikian, petani lereng atas terlibat
secara penuh dalam pasar yang ekstra regional, mengumpulkan pendapatan sebagian
besar dari hasil bumi yang dilempar bagi konsumen orang-orang Eropa dan Cina.
Pada abad XVIII M, disebutkan dalam laporan
dibuat orang Eropa bahwa yang terpenting adalah komoditas pertanian cabe
dan ekntang. Referensi juga menyebutkan dilakukan pengusahaan hasil-hasil bumi
seperti sayuran bunga,stroberi, anggur, dan bermacam-macam sayuran hijau.
Sebenarnya seluruh tanaman tersebut ditujukan bagi konsumsi orang-orang Eropa
dan Cina yang berkembang secara pesat di Kota Srabaya, Malang, Pasuruan dan
Probolinggo dan pada periode ini petani miskin mengadaptasis ecara cepat peuang
perdagangan yang baru ini.
Pada masa
pendudukan Jepang terjadi pergeseran bahkan depresi. Pada awalnya Langkah Jeang
dianggap menarik simpati rakyat pribumi untuk mengambil alih pertanian milik
orang-orang Eropa dan memotong pengusahaan pertanian milik orang Eropa dan
membakarnya menjadi arang. Mereka kemudian diminta melaksanakan kebijakan
politik pertanian dengan membatasi pegusahaan tanaman perdagangan mereka dan
mencukupkan saja untuk konsumsi pribadi rumah tangga serta menggantinya dengan
tanaman Pohon Jarak, sebagai bahan bakar minyak.
Berakhirnya Perang Dunia II
membawa kelegaan ekonomi tahun 1945 dan para petani menebangi pohon-pohon
jarak, menghapus koperasi-koperasi peninggalan Jepang. Hingga pada bangkitnya
era Orde Baru, daerah pegunungan memulai fase komersialisasi dan
bertransformasi melalui teknologi pertanian yang diperkenalkan melalui program
Revolusi Hijau. Segera hal ini diiringi dengan transformasi yang lebih
substansial dalam produksi kelas, dan komunitas mastarakat suku Tengger.
Bab IV Revolusi Hijau dalam Pertanian Pegunungan
Hefner mengurai
bahwa secara tidak langsung kebijakan negara berpengaruh luar biasa pada
pertanian pegunungan melalui program pemupukan kimiawi, intensifikasi petanian,
ekstensifikasi pertanian daerah lereng tengah dan panca usaha tani sebagai
representasi tujuan Reformasi Hijau. Hal ini turut berdampak pada intensifikasi
pedagangan ekonomi yang diperkenalkan tahun 1970.
Kopi dan cengkeh menjadi
komoditas unggulan penataan pertanian masa ini. Juga diuraikan Hasil surve pada
tahun 1980-1985 terhadap 492 Rumah Tangga ditemukan sajian data statistik
berkaitan penyebaran teknologi dalam proses pertanian, penggunaan bahan-bahan
agro kimia yang mendukung usaha tani serta akumulasi pengosongan lahan untuk
sementara waktu guna memperbaharui struktur lapisan tanah, kepemilikan dan
pengelolaan ternak dengan sistem bagi hasil diantara petani lereng tengah dan
lereng atas untuk setiap luas lahan.
Bab V Hubugan Produksi: Perubahan Sosial dalam Masalah Tanah
dan Tenaga Kerja
Kelangkaan
tanah menjadi gejala yang hebat hanya pada permulaan abad XX M, dengan
menyusutnya kopi pemerintah meluncurkan program penghutanan kembali, dan
sisa-sisa tanah terakhir dibagi-bagikan untuk diprivatisasi. Kenyataan ekonomi
tersebut memiliki konsekuensi sosial yang luas.
Di dataran rendah, otoritas
kolonial mendukung kepemilikan tanahs ecara komunal untuk membuat pembagian
secara periodic dari sawah yang ditanami padi menjadi lebih mudah. Justru
langkah ini semakin memperkokoh tradisi dimana para penduduk desa dibagi dalam
istilah kelas-kelas yang terdeferensiasi oleh hak-hak warisan atas tanah.Secara
berbeda, didataran tinggi tengger pemerintah memperkokoh pola pertanian dengan
kepemilikan tanah yang kecil. Sebagaia kibatnya, tidak ada stratifikasi kelas
diantara masyarakat tengger.
Pada masa
kolonial, pemerintah melakukan kebijakan politis pertanian melalui pengerahan
tenaga kerja. Asumsinya, semakin banyak penduduk yang dapat dipikat oleh
pemerintah bermigrasi ke gunung maka semakin banyak akumulasi atas tenaga kerja
yang diwajibkan bekerja di perkebunan kopi didaerah tersebut. Hingga terjadilah
pemetakan tanah oleh pegawai pemerintah untuk dibagi-bagikan kepada penduduk
baru dan penduduk petani miskin dan pegawai pemerintah mendapat bagian tanah
yang lebih luas.
Perubahan abad XX M menghadang pola warisan ini meskipun tidak
menghilangkannya secara total. Meski perdagangan tumbuh dan konsentrasi tanah
meningkat, namun akses terhadap tanah tetap jauh lebih cair dibandingkan yang
terjadi di dataran rendah. Hanya sedikit desa yang telah terkomersialisasi dan
harga tanah masih murah. Meletusnya peristiwa 1965, memiliki dampak campuran
dalam status/ kedudukan tanah, pendistribusiannya, serta pola penataan
kependudukan tanah yang memperkuat ketidakseimbangan dalam kepemilikan tanah.
Distribusi tanah didaerah pegunungan ditandai oleh ketidakadilan yang cukup
moderat didaerah lereng tengah.
Bab VI Masyarakat Konsumsi
Beberapa
perkembangan di dataran tinggi Tengger telah berjalan dengan lebih nyata
sebagai gejala dari perubahan semangat zaman daripada perubahan-perubahan yang
terjadi akhir-akhir ini dibidang konsumsi.Hal ini ternyata mengidentifikasi
diri mereka pada struktur sosial dimana barang-barang yang dikonsumsi memberi
makna pada masyarakat dan membantunya untuk mengatur hubungan inklusi dan
eksklusi, valuasid an devaluasi yang dimanapun menjelaskan batas-batasnya.Hefler
mengidentifikasi semiotika masyarakat Tengger misalnya, penduduk daerah lereng
atas yang karena kemiskinan yang disandangnya terpaksa tinggal di gubuk
sederhana dan mengenakan pakaian compang-camping, merupakan indikasi sifat
dasar hak-hak khusus ekonomi dan akibat dari kemiskinan.
Budaya memasak
dengan bahan makanan yang didatangkan dari luar daerah itu sekarang disukai
oleh penduduk daerah lereng atas yang kaya dan hal itu mengekspresikan
orientasi sosial yang berbeda dari petani miskin yang mengkonsumsi makanan
tradisional. Pendatangan bahan makanan diluar daerah secara praktis dan
semiotic, instrumental dan ekspresif, keduanya komunikatif dan konstitutif,
menyatakan tatanan sosial dan juga secara ebrbeda memenuhi kebutuhan material
si pelaku.
Tentu proses sosial semiotic ini membentuk kembali konsumsi rumah
tangga di pegunungan Tengger yang mencerminkan pola penerimaan dan perubahan
identitas. Proses ini dikuatkan oleh perilaku keluarga baru atau rumah tangga
baru yang terbentuk perkawinan yang memperluas lingkaran domestik sekaligus
emningkatkan kebutuhan konsumsi. Misalnya pola uxorilocal(praktek ikut orang tua istri) merupakan kebiasaan
masyarakat tengger yang miskin dan dianggap belum mampu berpisah hidup mandiri.
Berbeda dengan virilocal (praktek hidup
berpisah dari orang tua) diantara pemilik tanah kaya mengidentifikasikan
diri mereka denga kebiasaan non-tradisional dan mengambil jarak dari tatanan
desa, dampaknya, pemisahan tempat penyimpanan bahan makanan (pendharingan)
sebagai pernyataan kemandirian memiliki konsekuensi peningkatan konsumsi maupun
variasinya.
Ditambah lagi dengan konsumsi sesaji-sajian dalam ritual
persembahan atau pesta perayaan dianggap sebagai legitimasi martabat masyarakat
yang akan diupayakan secara mati-matian agar tidak hilang harga diri memacu
pertumbuhan daya beli masyarakat dan mempertegas diferensiasi sosial atas rumah
tangga “mampu” dan “tidak mampu”. Diakhir bab ini Hefelr juga menyinggung
pengaruh teknologi konsumsi mempengaruhi kultur ekonomi masyarakat Tengger
melalui informasi iklan yang mengkomersialisasikan segala macam produk “baru”
di mata mereka untuk ikut berhasrat memiliki/mengkonsumsinya.
Bab VII : Identitas Sosial dan Politik: Kekerasan tahun
1965-1966 dan dampak buruknya
Melalui
penetrasi partai-partai politik nasional ke seluruh negeri, perpecahan antara
dua wilayah masyarakat Tengger atas dan bawah justru semakin keras. Golongan
muslim di bawah menjadi basis NU, dimana ulama-ulama bersuara mengenai
pertentangan antara Islam dan Kejawen, dan menyerang praktik dukun, pemujaan
terhadap danyang dan pertukaran sistem ritual. sebaliknya golongan kejawen
didominasi oleh PNI dan pada tingkat yang lebih rendah, PKI.
Dipedesaan
Pasuruan, perpecahan kedua golongan ini merupakan akumulasi ketegangan-ketegangan
dan disparitas keduanya yang sudah berlangsung begitu lam dengan segala
perbedaan hierarki sosialnya. Konsekuensi tertingginya, meletuslah kekerasan
terhadap golongan PNI dan PKI yang diorganisir aliansi NU sebagai misi jihad
fisabilillah. Para agen pelaku disini adalah anggota pemilik tanah atau muslim
lokal yang sudah sejak lama berseteru dengan PKI. Ternyata, mereka seluruhnya
bukan penduduk lokal.
Pada akhirnya,
kekerasan didaerah pegunungan pasurruan tidak hanya dalam pengertin yang
sederhana dari produk-produk politik lokal atau perpecahan agama. Namun hal itu
secara menyeluruh diatur oleh agen-agen negara dan termasuk didalamnya berbagai
organisasi pemerintah khusussny NU yang memberi stigma hari-hari penuh terror
ke sejumlah masyarakat kejawen Tengger(PNI dan PKI) masa itu.
B. Refleksi atas
Pembacaan buku Geger Tengger:
Tulisan Robert Hefner dan dibantu
istrinya yang seorang penerjemah bahasa, Nancy Smith-Hefner, merupakan kajian
holistic dengan perhatian terhadap segala aspek: Sosial, keagamaan, ekonomi,
dan hubungan masyarakat tengger dengan lingkungan sekitarnya serta hubungan
masyarakat dengan negara.
Kritik
terhadap Hefner, terlepas
dari karyanya yang begitu menarik ialah bahwa Hefner tidak benar-benar
menajamkan analisisnya mengapa masyarakat suku Tengger di Lereng gunung
memiliki ketahanan yang kuat dalam mempertahankan ajaran agama kejawen.
Mengingat gempuran dan penetrasi yang
dilakukan secara massive terhadap mereka dari masa ke masa (mulai dari masa
Prakolonial hingga masa pembantaian 1965, bahkan hingga masa kini-reformasi).
Sebagai serang etnograf saya menunggu-nunggu Hefner merinci annalisisnya
tentang ajaran kejawen yang memiliki tingkat belief system yang tinggi bagi
kelompok masyarakat Pegunungan suku Tengger. Misalnya. Penjelasan yang lebih
tajam tentang sistem kepercayaan terhadap Kitab suci kejawen “Dharmogandhul” dan Ajarannya bernama “Sapta Dharma”.Serta kepercayaan
terhadap kiblat atau tempat Ibadah di Meru
(Batu Dhemek) Sebagai seorang yang juga perrnah melakukan penelitian kecil
terhadap kekayaan peradaban suku Tengger, saya mendapat informasi tersebut dari
Ketua Adat pada saat saya meneliti upacara Kasada 5 tahun yang lalu.
Penggalian
informasi tentang aliran kejawen yang bertahan ditengah penetrasi yang hebat
merupakan keindahan dan suatu “kemewahan” yang seharusnya dipapakan oleh Hefner
lebih jelas. Saya merasa Hefner hanya menjelaskan agama kejawen sebatas
permukaan yakni melalui hubungan binary opposition atas agama islam orthodox
yang menolak praktik-praktik tradisi keagamaan seperti kepercayaan terhadap
Animisme,Dhukun dll yang ditolak oleh Islam dan ajaran sapta dharma dianggap
sesat(yang direpresentasikan oleh kelompok NU dan pemuda Anshar sebagai
pembenaran atas pembersihan dan pembantaian asyarakat Suku Tengger aliran
kejawen). Menurut saya hal ini masih terlalu general dan harusnya bisa dikupas
lebih mendetail bentuk-bentuk persinggungan antara Islam dan Kejawen dalam
masyarakat tersebut.
Namun demikian, Hefner dengan baik
berhasil memaparkan sikap sikap toleransi agama dan etnis yang ditunjukka oleh
masyarakat suku tengger tengger yang lebih kuat dibandingkan masyarakat
kelompok bawah yang begitu cair dan etrlalu formal, menurutnya. Perubahan
nilai budaya yang terjadi dari masa yang dulu sampai sekarang pada masyarakat
yang relatif sederhana yakni masyarakat tengger di Kabupaten Pasuruan
menunjukkan perbandingan antara dataran tinggi yang memandang diri mereka sama
dan tanpa stratifikasi sedangkan masyarakat dataran rendah yang sadar akan
status dan terlalu formal serta menyebabkan masalah dalam hierarki dan pola
interaksi.
Dalam sisi historis penduduk wilayah pegunungan dibebani masalah
identitas dan kemasyarakatan ditengah arus perubahan dalam ekonomi dan politik
yang diajalankan oleh seorang aktornya (dulu sebelum merdeka oleh pemerintah
kolonial dan sekarang oleh pemerintah mulai dari orde lama dan orde baru).
Apalagi, masa reformasi pemerintah
semakin Sejak dikeluarkannya UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang kependudukan, warga
Sapta Darma bisa bernafas lebih lega. Sebab, status agama di KTP bisa
dikosongkan (tak diisi), dan pernikahan bisa terdata di Catatan Sipil. Walau
demikian, masih banyak KTP penganut Sapta Darma yang ditulis-entah sengaja atau
tidak-dengan nama salah satu agama. Padahal diharapkan, dan sudah semestinya,
kolom agama di KTP bisa ditulis dengan penganut ajaran kerohanian Sapta Darma.
Saya juga ingin memfokuskan pada orang-orang
kejawen yang dilabeli atau PNI abangan diduga bagian dari PKI yang kemudian
menjadi tahanan politik (tapol) hingga pembebasan mereka kembali ke dalam
masyarakat telah menunjukkan dimensi-dimensi kekerasan struktural yang
dilakukan oleh Negara (militer). Jika menempatkan mereka sebagai kelompok
marginal—sebagaimana konsep Antonio Gramsci tentang subaltern—dimana Kaum Tengger dataran tinggi yang juga kejawen menjadi
kelompok yang diabaikan oleh negara karena posisi mereka yang lemah secara
sosial, politik dan ekonomi maka setidaknya lapis-lapis aturan yang termuat
dalam pelbagai dokumen telah menunjukkan bahwa golongan masyarakat Tengger yang
dituduh sebagai PKI segera menjadi kelompok yang ditolak oleh negara.
Gramsci
tepat menunjukkan bahwa kelompok subaltern
tidak begabung (not unified) dan tidak
dapat bersatu (cannot unite) dengan
negara serta mengalami diskriminasi
bahkan selepas mereka dibebaskan yang dilakukan oleh instusi Negara, militer.
Praktik-praktik kekerasan struktural mewujud dalam aturan-aturan yang dimuat
dalam beberapa dokumen arsip. Ada beberapa hal yang penting berkaitan dengan
aturan-aturan itu: kewajiban wajib lapor kepada pihak berwajib (kepolisian),
berkaitan dengan aturan pemberian tanda ET (Eks Tapol) dalam KTP (Kartu Tanda
Penduduk) serta berkaitan dengan adanya wacana “bersih diri” dan “bersih
lingkungan”.
Masyarakat suku Tengger yang mayoritas
Muslim dan berafiliasi dengan NU(baik secara langsung maupun tidak dalam keanggotaannya) menjadi obyek pesakitan dengan tuduhan identitas baru sebagai anggota PKI (padahal keterlibatannya sangat rendah sekalipun?) dan akan
sesegera mungkin melaporkan hal yang tidak beres berkaitan dengan kelompok suku
Tengger. Sekali lagi disini terlihat disparitas yang begitu tajam memperkuat
perbedaan antara masyarakat lereng gunning atas, dengan masyarakat dataran
rendah. Dengan demikian, eks tapol masyarakat tengger rentan mengalami
keterasingan dalam lingkungan sosial budaya.
Perlakuan-perlakuan yang diuraikan
oleh Hefner yang digerakkan oleh umat muslim sebagai kekerasan alienatif yang
merujuk pada pencabutan hak-hak individu yang lebih tinggi seperti hak
perkembangan emosional, budaya atau intelektual.Nampak jelas disini bahwa
dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah (militer) mengandung
dimensi-dimensi kekerasan struktural, yang mewujud dalaam praktik kekerasan
represif dan alienatif. Aturan-aturan itu jelas menjadi penyebab tidak langsung
dari kekerasan structural di atas.
Dokumen-dokumen penting itu diproduksi oleh
pemerintah, terutama militer, yang punya kepentingan hegemonik atas
warganegaranya, disamping secara praksis untuk menghilangkan kekuatan kelompok
komunis. Dokumen-dokumen itu juga menjadi salah satu representasi penting
wacana antikomunis dan menunjukkan betapa kuatnya militer (dalam hal ini
Angkatan Darat) melakukan control atas masyarakat pegunungan suku tengger.
Dengan
memproduksi terus menerus dokumen-dokumen seperti itu, maka militer berusaha
untuk bergerak meninggalkan fase dominasi menuju hegemoni dan proses-proses itu
memang dimulai sejak rezim (Orde) baru. Segera, masyarakat Tengger menjadi
kelompok”liyan” dari wilayah mereka sendiri dan memberikan rasa traumatic
terhadap identitas mereka yang dipertanyakan hingga saat ini ebagai bagian dari
unity on diversit sebuah negara Indonesia. Masyarakat tengger yang mewarisi
memori kolektif masa lalu menjadi lebih introvert, tertutup dan curiga terhadap
masyarakat dataran rendah, yang ditunjukkan dengan kecemburuan dan
ketidakberdayaan atas ketimpangan pendapatan ekonomi antara Masyarakat atas
dengan masyarakat dataran bawah yang berlangsung bahkan setelah 50 tahun
peristiwa “Geger Tengger” tersebut terjadi.
Menurut kaca mata
saya, apa yang terjadi di Tengger merupakan manifestasi dari Konflik destruktif
dalam kehidupan berpolitik dalam negara dapat ditumbuhkan karena fanatisme para
pendukung partai yang berlebihan terhadap golongannya (NU).
Selain itu NU yang
memiliki basis pendukung fanatik juga dapat menimbulkan konflik yang
destruktif. Hal itu disebabkan partai akan cendrung memanfaatkan fanatisme
pendukung mereka untuk memaksakan kehendak mereka tanpa mau melihat kepentingan
kelompok lain.
Kedua, Persinggungan antara Peristiwa Geger Tengger denga peran
negara merupakan sebuah bentuk konflik fungsional. Yakni konflik yang
menghasilkan perubahan atau konsensus baru yang bermuara pada koreksi atas
kondisi yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan negara (missal agitasi
NU dan kelompok Islam atau tuan tanah yang menyimpan dendam atas tanah-tanah
yang diambil oleh sebagian anggota BTI (Barisan Tani Indonesia) akibat
Landreform hingga menimbulkan kebencian dan momentum pelenyapan dan pembunuhan
masyarakat tengger yang dituduh terlibat sebagai simpatisan PKI dan PNI). Hal ini merupakan produk dari internalisasi beberapa faktor yang merupakan kepentingan
salah satu pihak.
Ada beberapa akar dari munculnya
budaya kekerasan di dalam masyarakat Indonesia pasca G30/S. Pertama, adanya
penetrasi budaya militer dalam masyarakat sipil. Penetrasi itu diwujudkan dalam
beberapa bentuk seperti upacara, pemaksaan kepercayaan terhadap kelompok lain yang
semuanya dirancang berdasarkan scenario aparatus negara. Sehingga, pembersihan
terhadap masyarakat Tengger yang dilakukan partai politik oposisi ini seperti
mendapat wewenang, merasa diijini, atau mendapat payung hukum perlindungan dari
emerintah sebagai gerakan yang benar dalam semangat konstruksi nasionalisme”semu”.
[1] Tentang “tubuh-tubuh patuh ini”
lihat penjelasan dalam Michel Foucault, Discipline & Punish: The Birth of the
Prison, New York: Vintage
Books, 1995, hlm.135-169.
ayo buruan coba klik DISINI banyak yang menarik loh
ReplyDeleteOnce you have tried to focus on accuracy and accuracy, it can be a great source of information for the right information.
ReplyDeleteفروشگاه اينترنتی
https://www.baneh.com
goodluck