Highlight "The Textuality of Archive" by Andrew Prescott



Brown menyatakan bahwa 'postmodernisme telah mengubah metode dalam subjek sejarah akademik. Ia mengakui bahwa perubahan ini tidak merata dirasakan di setiap topic seluruh Universitas, sejarawan setiap individu atau setiap buku dan artikel yang diterbitkan. Namun demikian, dalam pandangan Brown's wawasan teoritik dan kritis yang baru dikembangkan oleh figures tersebut seperti Roland Barthes, Michel Foucault, Jacques Derrida dan Jean-François Lyotard telah mengubah agenda sejarah, mendorong studi tentang subyek baru dan eksplorasi dari berbagai jenis bahan-bahan sumber. 

Postmodernisme telah sangat mendorong profesi sejarawan mencecap kegembiraan, perhatian, mencari karya teori untuk terlibat dengan atau menolak ide-ide baru. Banyak sejarawan lainnya justru kurang antusias tentang tubuh baru teori. Keterbatasan dan tipuan teks membuat tidak mungkin untuk mencapai tujuan di Ranke menampilkan sejarah"bagaimana sebenar-benarnya”. Tidak mengherankan bahwa banyak sejarawan melihat postmodernisme tak lebih sebagai penyangkalan terhadap sejarah "pesanan perusahaan".

Arsip secara alami melihat diri mereka yang erat (meskipun tidak secara eksklusif) terhubung untuk mempelajari sejarah dan perdebatan tentang 'ancaman postmodern'. Sejarawan membuat penggunaan bahan-bahan tekstual yang asli. Namun, arsiparis mungkin bertanya-tanya apakah perdebatan ini memiliki relevansi langsung terhadap kehidupan kerja mereka sehari-hari. Meskipun perbedaan-perbedaan ideologis mereka, Brown dan Richard Evans keduanya membuat ekstensif menggunakan bahan arsip dalam penelitian sejarah mereka sendiri. Perbedaan teoritis mereka tampaknya memiliki sedikit dampak pada pendekatan mereka masing-masing ke arsip. 

Tema-tema sentral dalam diskursus analisis teoritis yang baru adalah keterbatasan dan tipuan teks sebagai media yang merangkum pengalaman manusia. Teks diidentifikasikan selalu bias, selalu terbatas, selalu menipu. Bahkan jika pencipta teks mampu melampaui aspek-aspek tersebut untuk menghasilkan account sepenuhnya obyektif dan realistis, masing-masing pembaca memiliki pengalaman berbeda dalam berinteraksi dengan teks. 

Selain itu, keterbatasan bahasa manusia itu sendiri mencegahnya menyampaikan teks secara memadai.setiap teks membawa kenangan dan referensi (baik oleh penciptanya dan dalam pikiran pembaca) untuk banyak teks lainnya. Di atas semua, teks tidak eksis dalam kekosongan. Setiap teks membawa kenangan dan referensi (baik oleh penciptanya dan dalam pikiran pembaca) untuk banyak teks-teks lain – hanya memikirkan cara di mana Western teks dari semua periode ditembak melalui dengan referensi-silang kepada Alkitab. Bahkan bergambar gambar dan benda materi berfungsi secara efektif sebagai teks. Pemahaman kita tentang realitas terjebak di sebuah paradigma tekstual.

Maka Derrida berkomentar “nothing out of the text” (tidak ada stu hal pun yang berada diluar teks). Artinya segala sesuatu yang dipahami sebagai realitas tidak lepas dari pembacaan manusia,tak hanya teks tulisan atau arsip tapi segala hal dalam kehidupan dipandang sebagai sebuah teks. Contoh : pembacaan atas situasi politik, pembacaan atas peluang, pembacaan atas emikiran seseorang, pembacaan atas diskursus, pembacaan atas situasi dan kondisi lingkungan dll.

Dalam memperlakukan teks, Dekonstruksi Deridda membaca dan menafsirkan ulang seluruh puncak tradisi filsafat barat sehingga melahirkan teks baru. Dekonstruksi deridda dirumuskan sebagai metode membaca teks. Hampir seluruh karya Derrida adalah komentarnya terhadap pembacaan ulang karya karya filsuf lain. Deridda membongkar (mendekonstruksi) plato, Freud,Levi-strauss, Socrates, sampai Marx. Dengan mendekonstruksi teks-teks filuf tersebut, Derrida menyusun teks nya sendiri dengan membongkar teks-teks lain. Sehingga, dia mencoba melebihi teks-teks itu dengan mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan dalam teks-teks itu sendiri.

Bourdieu berpendapat bahwa salah satu hambatan dalam penelitian adalah fungsi pemikiran yang membuat klasifikasi. Seringkali hal ini memperlambat atau bahkan menghalangi penemuan intelektual. Bagi bourdieau, label-label klasifikasi menimbulkan rintangan pada apa yang tampak sebagai relasi yang sesungguhnya antara teks teks dan para cendekiawan masa lalu. Bourdieau  menyatakan relasi antara teks, karya intelektual mutakhir, dan profesi intelektual itu sendiri terstruktur itu sendiri terstruktur oleh kesadaran diri yang terdapat dalam profesi.   Tidak seperti intertekstualitas sebagaimana yang dipahami yang dipahami Bakhtin maupun Kristeva yang cenderung mengaitkan teks-teks hanya kepada teks lain, bagi Bourdieau teks-teks harus dianalisis baik dalam kaitannya dengan teks-teks lain maupun dalam kaitannya dengan struktur arena dan agen agen spesifik yang terlibat.

Bourdieau menyatakan bahwa focus formal historis tidak bisa dipisahkan bahwa kesadaran dan pemikiran manusia dibentuk secara sosial, dan bahwa kemungkinan-kemungkinan suatu tindakan disituasikan dan didefinisikan secara sosial dan historis. Namun Bourdieu hampir bisa dipastikan mengkritisi historisisme baru yang mengusung gagasan”tekstualisasi kalangan post-strukturalis atas sejarah” yang ujung-ujungnya tidak memperlihatkan arti penting landasan sosial historis dan historis ekstra teks dan peran mediasi arena produksi kultural. 

Seperti yang dikatakan Bourdieau, didalam ketidakberkepentingan dan kepentingan (there is an interest in disinter-estedness), apabila karya-karya kultural diproduksi didalam situasi historis yang obyektif dan kerangka-kerangka intitusional oleh para agen dengan menggunakan strategi-strategi yang berbeda dan mengikuti lintasan-lintasan yang berbeda di dalam arena, penerimaan terhadap karya-karya tersebut, apapun tingkat penerimaannya juga berlangsung didalam situasi-situasi khusus yang terbentuk secara historis.

Comments

Popular posts from this blog

GEGER TENGGER : PERUBAHAN SOSIAL DAN PERKELAHIAN POLITIK

Melacak Jejak Kisah-Kisah Sejarah dalam Al-Qur’an