Enclosure in Lands End : Capitalis Relation in Indigenous Frontier by Tania Murray Li














Isu-isu besar yang ditulis oleh Tania Murray mengambil obyek kajian Privatisasi tanah di dataran tinggi Lauje, suatu komunitas suku yang berada di kecamatan Tinombo dan teluk Tomini kabupaten Parigi Moutong provinsi Sulawesi Tengah Indonesia, dimana transformasi agraria di Lauje terjadi akibat proses perubahan penggunaan tanah yang dilakukan oleh petani sendiri. Bentuk Privatisasi tanah yang dimaksud adalah privatisasi tanah yang dilakukan oleh bukan ahli waris tanah di daerah Lauje tapi petani penggarap yang diberi izin oleh ahli waris mengurus lahan.

Apabila melihat sejarahnya, munculnya sistem privatisasi ini berkisar abad 16, ketika kekuasaan kaum feudal dan institusi gereja semakin berkurang, sekelompok petani mengusulkan apa yang kemudian disebut sebagai kebijakan enclosure ( memagari ) lahan tertentu sehingga hanya satu orang yang melakukan aktivitas pertanian di tempat itu. Selain itu, petani tidak lagi bebas menggunakan lahan itu untuk bercocok tanam, mencari jerami, ataupun sebagai ladang penggembalan ternak. Kebijakan enclosure mengandung unsur kapitalisme . Pemerintah inggris secara de facto menganut kebijakan ekonomi merkantilisme dan baru sejak era revolusi sistem ekonomi kapitalisme secara resmi berlaku di inggris .

Perbedaan sistem manor dan enclosure terletak pada kenyataan sifat pemilikan atas tanah, yang mana masing masing memiliki konsekuensi yang khas. Sistem manor tanah adalah milik Negara yang dikelola melalui para bangsawan atau tuan tanah sedangkan pada sistem enclosure tanah adalah bersifat milik pribadi.Dampak sistem enclosure bagi masyarakat inggris adalah ketika gelombang besar pertama enclosure diterapkan pada abad ke 16. Para tuan tanah mengusir para petani dari tanah tanah milik mereka.

Sistem enclosure lantas berkembang menjadi sumber konflik paling utama dalam perkembangan sejarah awal modernisasi di inggris .  Enclosure pula yang menjadi penyebab utamanya perang saudara di Inggris. Tulisan Tania Li memberikan pemahaman bahwa transformasi agraria yang berdampak negatif dapat terjadi melalui sistem pertanian skala kecil (smallholder agriculture) yang umumnya dipandang menguntungkan petani, melalui privatisasi tanah, kemudian dihubungkan dengan permasalahan adat, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas.
Dalam tulisan ini, Tania Li memaparkan bahwa dimensi permasalahan pada daerah dataran tinggi sebenarnya jauh lebih kompleks. Di dalamnya tercakup diferensiasi akses terhadap tanah pada berbagai kelas sosial yang ada akibat proses perubahan penggunaan tanah yang secara gradual mengubah peta kepemilikan tanah. Proses ini membawa dampak negatif yang di antaranya adalah terputusnya akses masyarakat asal yang secara adat memiliki hak penguasaan mula-mula atas tanah itu dengan menggunakan pendekatan sejarah atas penggunaan tanah.  Pada kasus Lauje, petani sering beralih dari satu tanaman ke yang lain, dan iklim dataran tinggi telah membuat perubahan budidaya tanaman sebelumnya, ketika mereka beralih dari tembakau untuk bawang merah. Atau Ketika dataran tinggi ditanam kakao di bidangnya, keberadaan pohon mengganggu siklus di mana mereka dibersihkan patch hutan, digunakan selama beberapa musim, kemudian meninggalkannya untuk Jekau. Pohon juga mengubah status kepemilikan tanah, mengubahnya menjadi properti individu, karena tidak ada orang lain bisa menggunakan tanah yang mengecualikan pengguna lain, dan lain menggunakan, tidak baru: penanaman ladang jagung juga diperlukan pengecualian, di pagari.
Banyak studi properti hubungan antara masyarakat adat merujuk pada gagasan tentang "hukum adat," dipertimbangkan sebagai lembaga aturan dan praktek-praktek semacam itu kadang-kadang menerima pengakuan resmi di codes. hukum formal studi umum rezim properti juga menekankan pentingnya lembaga, minimal wilayah jelas Berikat, sebuah kelompok sosial Berikat yang memegang hak asasi di wilayah ini , sebuah sistem untuk mengelola tanah umum didukung oleh otoritas dengan yurisdiksi yang diakui, dan kapasitas untuk memperkuat ketetapan tersebut. Model semacam  ini tidak cocok dengan baik di dataran tinggi Lauje, karena dataran tinggi tidak hidup dalam kelompok/ komunitas dengan batas-batas yang jelas teritorial. Potensi pertanian ini berlimpah sehingga mereka sudah tidak perlu mengelolanya dengan ketat dan bersaing satu sama lain atas properti. pemerintah kolonial telah mengupayakan penelitian dengan tujuan konsolidasi hukum adat Luje, sedangkan undang-undang pertanahan Nasional Indonesia hampir tidak mengakui hak-hak adat, sehingga property tanah tersebut tidak pernah diadministrasikan oleh pejabat pembuat akte tanah.
Menurut peta pemerintah, dataran tinggi Lauje diklasifikasikan sebagai hutan negara, di bawah kontrol Departemen Kehutanan. bangunan pada warisan kolonial, pemerintah Indonesia menunjuk sekitar 70 persen dari wilayah nasional "hutan negara", tetapi Departemen Kehutanan tidak tertarik lagi tertarik dengan dataran tinggi Lauje setelah spesies yang paling berharga dari vegetasi alamnya, kayu eboni telah habis dieksploitasi. Pejabat perhutani tidak berusaha untuk mengusir dua puluh ribu suku lauje yang tinggal dan bertani didataran tinggi, mungkin karena mereka tidak tahu mereka ada di sana. Mereka membayangkan bahwa dataran padat berhutan dan berbukit jarang dihuni.
Sebaliknya, dataran tinggi tidak menyadari bahwa hutan mereka telah diklaim oleh negara dan mengambil hak-hak adat mereka begitu saja. Ketika mereka mulai untuk menginventaris property tanah mereka sendiri, mereka berkomunikasi antara komunitas mereka sendiri, tanpa melibtkan  referensi hukum tanah negara, tanpa penggunaan dokumen, dan tanpa izin pejabat pemerintah.
Pada kesempatan langka ketika mereka mengambil sengketa tanah mereka tidak bisa menyelesaikan antara mereka sendiri untuk kepala desa, ini adalah bukan karena mereka mengakui bahwa negara memiliki yurisdiksi atas tanah, tetapi sebaliknya mereka menerapkan otoritas luar ditambahkan berat ke proses penyelesaian sengketa mereka sendiri.
Antara dataran tinggi, dan lembaga yang memberikan rezim penguasa akses tanah kesepakatan umum tentang "bagaimana orang-orang lauje melakukan segla aktivitas di tanah enclosure," jika seseorang melakukan sesuatu yang keluar dari garis, tetangga di sekitar yang terluka. Sistem hukum informal ini secara kolektif ditegakkan,di masa lalu cukup untuk mengaktifkan petani, kolektor rotan and resin dan pemburu untuk melanjutkan pekerjaan mereka tanpa tersandung satu sama lain, dan untuk menyelesaikan perselisihan yang kadang-kadang muncul.
Istilah yang dataran tinggi digunakan untuk mengklasifikasikan vegetasi juga sebagai alat politik mendefinisikan hak. Mereka dibedakan antara do'at L (hutan primer yang telah pernah ditebang dan tidak memiliki individu pemilik); ulat L (hutan sekunder, dimiliki oleh pelopor yang pertama dibersihkan, atau keturunannya); ABO L (surga yang baru saja fallowed scrub yang telah mulai tumbuh kembali, tapi ada masih berguna tanaman pisang, pepaya, singkong, ubi jalar, cabe dan tomat yang termasuk orang yang menanam mereka); dan jo'ong L, plot pertanian yang digunakan saat ini, biasanya ditanami tanaman milik orang yang berbeda.  Di pusat Lauje dataran tinggi pendekatan untuk kepemilikan adalah dengan prinsip “orang yang melakukan pekerjaan membuka lahan hutan menjadi pemilik properti hasil”, sebuah fitur yang dimiliki oleh banyak sistem kepemilikan masyarakat adat.
Pada kasus awal pembukaan lahan yang dijadikan sebagai prinsip kepemilikan lahan selanjutnya, terjadilah bias gender dan diferensiasi sosial laki-laki dan perempuan. Hal ini dikarenakan hanya laki-laki melakukan pekerjaan ini, hanya laki-laki yang diakui sebagai perintis. Perempuan bertugas mengurus makanan dan keperluan logistic lin untuk mengaktifkan suami mereka dalam bekerja, tetapi perempuan tidak menyatakan kepemilikan tanah. Menurut definisi yang digunakan dalam teori hak properti, terdapat fakta prosedur yang telah disepakati untuk akses ke do'at-orang dan Roh untuk meminta izin, dan sanksi pelanggaran — membuatnya sumber akses terbuka untuk masyarakat lauje.
Transformasi agraria di kedua daerah ini terjadi melalui media pertanian coklat skala kecil yang mengalami peningkatan luasan secara tajam di tahun 90-an. Proses transformasi agraria di kedua daerah ini terjadi dalam alur yang berbeda tetapi akhirnya berujung pada kondisi yang sama yaitu hilangnya akses masyarakat asal terhadap tanah. Proses transformasi agraria di daerah Lauje terjadi dalam proses panjang selama bertahun-tahun dimana tanah di dalam kawasan tersebut telah lama dikuasai secara adat melalui pembukaan tanah yang dilakukan oleh para pionir pembuka hutan dari suku Lauje.
Tanah yang dibuka kemudian digunakan dalam pertanian ladang berpindah. Tanah tersebut secara adat dikuasai dan diwariskan kepada ahli waris. Namun para ahli waris tidak melakukan pembagian penguasaan atas tanah sehingga akhirnya tanah dikelola secara kolektif. Pengusahaan tanah dilakukan oleh keluarga ahli waris atau keluarga lain yang diberikan izin untuk bercocok tanam di atas tanah tersebut.
Pada saat tanaman coklat diperkenalkan di daerah ini, terjadi perubahan secara drastis. Harga coklat yang sangat tinggi di pasar internasional mengundang para petani di daerah tersebut untuk mulai menanam coklat di kebunnya. Pertikaian atas tanah bermula saat muncul kepemilikan individu yang datang untuk mendominasi di awal 1990-an, ketika semua orang ingin tanaman kakao. Karena tidak ada Penegakan Undang-undang pertanahan nasional di dataran tinggi, dan tidak ada catatan kertas landownership atau transfer informasi baik sebelum atau setelah dataran tinggi menanam kakao, Argumen yang kadang-kadang hanya dibuat berupa peringatan secara lisan oleh penanaman bibit kakao bersama jagung di Taman dan menunggu untuk melihat jika ada keberatan. Peimbangan keuntungan dari pertanian coklat yang bernilai jual tinggi mengundang para petani yang sebenarnya tidak memiliki hak adat atas tanah untuk menanam tanaman coklat di kebunnya.
Dalam sistem pertanahan, perilaku ini mengakibatkan sebidang tanah dikuasai oleh satu orang saja. Situasi ini berjalan dengan atau atas ijin dari para ahli waris yang secara adat menguasai tanah tersebut. Kondisi ini berlangsung terutama karena sulitnya mebuktikan batas kepemilikan dari seorang ahli waris terhadap tanah yang dibuka oleh nenek moyangnya, akibat tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengusut konflik kepemilikan tanah tersebut. Proses privatisasi tanah selanjutnya adalah dimulainya sistem jual beli terhadap tanah. Petani yang membutuhkan modal atau terdesak oleh kebutuhan tertentu akan menjual tanahnya untuk mendapatkan uang.
 Secara bertahap, ini menyebabkan terjadinya akumulasi penguasaan tanah di tangan beberapa orang saja. Petani yang sebelumnya memiliki tanah kemudian bekerja sebagai buruh upahan di tanah yang semula dimilikinya. . Akumulasi tanah yang terjadi kenudian membuka pintu bagi investor dari luar masyarakat adat untuk melakukan pembelian tanah yang telah ditanami coklat. Perlahan namun pasti hal ini berlangsung hingga membuat penguasaan tanah di Lauje berada di tangan orang-orang yang sebenarnya berada di luar kelompok masyarakat adat Lauje. Inilah yang menimbulkan terjadinya diferensiasi akses tanah. Masyarakat adat yang semula memiliki hak atas tanah tersebut kini berada pada kondisi tak bertanah dan harus rela melihat kemajuan yang diperoleh oleh masyarakat luar dari hasil tanaman coklat.
Sedangkan, Akumulasi tanah dan perpindahan kepemilikan Transformasi agraria di daerah perbatasan taman nasional Lore Lindu terjadi dengan alur yang berbeda dengan apa yang terjadi di Lauje. Secara umum, Di Lindu, transformasi agraria terjadi akibat pengaruh dari luar, dalam hal ini pemerintah dan pendatang dari Bugis. Sebagaimana yang terjadi di daerah Lauje, nenek moyang mereka membuka tanah dan melakukan pertanian ladang berpindah selama berpuluh-puluh tahun.
Di masa pemerintahan kolonial Belanda, masyarakat di daerah ini mengalami proses relokasi pemukiman ke daerah dataran rendah yang lebih mudah diakses. Perpindahan ini menjauhkan para petani dari tanah yang secara adat menjadi haknya. Dengan demikian, meski secara ekonomi petani tetap mengusahakan peladangan di daerah Lindu, namun secara fisik mereka terputus dari tanahnya.  Di masa pemerintahan orde baru, sebagian tanah masyarakat Lindu dimasukkan kedalam area Taman Nasional karena dianggap memiliki fungsi perlindunga keanekaragaman hayati yang tinggi.
Sementara itu, di satu sisi keadaan ini dimanfaatkan oleh pemerintah (para kepala desa) untuk menjual tanah yang statusnya tidak pasti karena berada dalam kawasan taman nasional. Petani yang masih memiliki kepastian akan hak atas tanahnya pun banyak yang memilih untuk menjual tanahnya kepada pendatang (kebanyakan orang Bugis terutama).  
Pertanyaan yang muncul setelah membaca buku Tania adalah: (1) Apakah praktik ini menghentikan siklus pertanian ladang berpindah di Lauje karena tidak mungkin membuka tanah baru dengan menebang tanaman coklat yang bernilai tinggi? (2) Bagaimana dengan proses transformasi agraria yang berujung pada diferensiasi akses petani lokal terhadap tanah mereka? Serta (3) bagaimanakah aturan dasar hukum pemerintah dalam mengklaim atau menjadikan tanah orang orang Lauje dan Lindu menjadi Taman Nasional? Apakah sama sekali dalam memutuskan pembentukan taman nasional tidak menggandeng masyarakat untuk bedialog sebelumnya?

Comments

Popular posts from this blog

GEGER TENGGER : PERUBAHAN SOSIAL DAN PERKELAHIAN POLITIK

Highlight "The Textuality of Archive" by Andrew Prescott

Melacak Jejak Kisah-Kisah Sejarah dalam Al-Qur’an