Masyarakat Sadistis








Sadisme atau budaya sadis jauh sudah mudah kita jumpai pada pribadi-pribadi yang frustasi, dan kelompok sosial yang sedikit memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya. Kecemasan, keputusasaan dan ketidakberdaya mendorong manusia ingin “survive” membebaskan diri dari ancaman. Secara naluriah makhluk hidup memang dikaruniai drive yang sama agar survive menghadapi problematika kehidupan baik secara individual dan survive secara kolektif (spesies). Namun tak jarang persoalan cara-cara perilaku survive yang dilakukan ini memantik konflik baru. 


Memperbincangkan konflik, Pola pergulatannya timbul tenggelam tak pernah final sepanjang hayat. konflik akan terus terbangun dan membelenggu setiap makhluk. Adakalanya ia bisa diredam namun  tak jarang konflik justru tak terselesaikan menjelma dan mengeksploitasi hasrat untuk melukai orang. Ia  melahirkan budak budak amarah yang memunculkan praktik-praktik menyimpang seperti persekusi.

Persekusi adalah bentuk nyata konflik kemanusiaan berupa perlakuan buruk atau penganiyaan secara sistematis oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain, khususnya karena suku, agama, atau pandangan politik. 

Saya tak akan ceroboh mengatakan bahwa dulu tidak pernah ada persekusi. Toh rentetan catatan sejarah kekerasan selalu mampu menjadi mimpi buruk yang siap membangkitkan ingatan kolektif setiap warga Indonesia atas tragedi kemanusiaan yang menimpa negeri ini. Bahkan, sebagian besar belum dituntaskan. Namun sungguh kepopuleran praktik persekusi dan penyakit main hakim sendiri dewasa ini benar benar telah menandakan gejala konflik kemanusiaan yang kian memburuk. Mengapa demikian?


Sayembara Persekusi

Pada tanggal persekusi yang brutal pada kasus Abi Qowi Suparto, pemuda 20 tahun, tewas diduga dikeroyok orang-orang dari toko Rumah Tua Vape. Dia dituduh mencuri vape senilai Rp 1,6 juta dari toko tersebut. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya AKBP Hendy Kurniawan menjelaskan Abi tewas di Rumah Sakit Tarakan Jakarta.[i]
 
Seolah hilang kewarasan, secara kronologis pada tanggal 27 Juli 2017 para pelaku memilih  tak melaporkan pencurian itu ke polis.  Akan tetapi, mereka  membuat sayembara di Instagram dengan memasang foto dan identitas Abi sebagai pencuri vape di akun Instagram @rumahtuavape. Inilah awal dimana sayembara persekusi dimulai.Bahkan,ada hadiah Rp 5 juta untuk yang menemukan Abi si pencuri. 

Fenomena sayembara persekusi ini mengingatkan kita pada pola-pola perburuan disertai hadiah yang tidak lazim. Benarkah kita sebenarnya adalah manusia pemburu? Mengingat fakta bahwa dalam sejarahnya manusia adalah para pemburu yang ulung. Washburn menyebutnya “Psikologi Karnivora” untuk dorongan atau kegemaran membunuh yang dimiliki manusia secara naluriah.[ii]

 Apapun itu, reaksi yang ditunjukkan pembuat sayembara saya rasa sudah diluar rambu-rambu kemanusiaan. Jika membunuh dianggap sebagai kegemaran, maka kini tidak usah bertanya lagi kenapa manusia menjadi begitu keji dan berhasrat menjadi pemangsa atas sesamanya (homo homini lupus) ?. Hal yang sama berlaku untuk kasus perang dan kejahatan kemanusiaan lainnya.

Mungkin benar bahwa manusia memiliki kenikmatan ketika melakukan pemburuan dan pembunuhan. Ingatlah bahwa manusia modern selalu menciptakan kompetisi. Memburuknya perilaku masyarakat modern ditandai oleh fragmentasi bidang kehidupan manusia. Kini, mereka terunifikasi menjadi 3 kekuatan yang mengubah perilakunya: uang, negara, dan agama. Ruang relasi kekerabatan dan unit hubungan sosial tidak lagi ditempatkan sebagai persoalan penting. Implikasinya, masyarakat modern dewasa ini terjebak dalam keterasingan dan egosentrisme yang besar. Mereka menafikkan adanya pertalian dalam hubungan unit sosial masyarakat sehingga membuat kemanusiaan tak lagi bermakna.

Apabila diperhatikan, menarik menyimak beragam persepsi masyarakat terhadap kasus sayembara persekusi ini. Diantara mereka yang mengecam terdapat salah satu komentar dari netizen yang  tak kalah gilanya dengan pelaku sayembara persekusi, ia menuliskan:“ Makanya jangan mencuri kalau tidak mau dihajar massal sampe meninggal!!!.”

Seketika saya sadar bahwa sebagian masyarakat kita masih terjebak dalam perilaku agresivitas yang tidak beradab. Jadi bagaimana bisa praktik kekerasan semacam ini masih dianggap tindakan yang sah dan bisa dibenarkan? Jelas ini menunjukkan kecenderungan bahwa betapa penegakan hukum mudah dilupakan dan kurang dipercaya untuk mampu mengakomodasi permasalahan masyarakat.

Pesta perayaan Kematian

Adakah syarat tertentu jika ingin menggelar sebuah pesta perayaan? Ritual perayaan sejatinya bentuk apresiasi atas prestasi atau wujud kebanggaan yang identik dengan suasana kebahagiaan. Ide semacam ini pertama kali diselenggarakan di Yunani. Namun apabila tradisi perayaan semacam ini ditujukan untuk penganiayaan, kebrutalan, kekejian, dan pesta kekerasan massal berujung kematian, pantaskah  hal demikian itu dirayakan  oleh umat manusia?

 Secara alamiah, kematian bagi manusia memang bersifat universal. Apa-apa yang ada akan tiada, dan yang hidup akan mati. Hakikat kematian alamiah sebagai kuasa Tuhan Namun proses kematian ini nyata-nyata bisa dipercepat yakni melalui tangan-tangan manusia yang merasa mampu menjadi wakil Tuhan. Persekusi dibaca sebagai ritual merayakan kematian dengan mengorbankan hak hidup orang lain. Mereka menjadi wakil wakil tuhan atau bahkan tuhan lain dari yang mereka imani.

Tidak berlebihan menganggap persekusi sudah di”pesta”kan toh setiap saat kasus-kasus persekusi terus menghiasi wajah laman berita media sosial tak habis-habisnya. Untuk melukis seberapa parah penyakit hukum rimba masyarakat dewasa ini, mari sejenak berkaca pada kasus-kasus yang mengebiri kemanusiaan akhir-akhir ini:

Pada 30 juli 2017 lalu, media sosial dihebohkan dengan adanya orang yang dibakar oleh warga hidup-hidup di Babelan, Kabupaten Bekasi. Pria yang diduga maling itu meregang nyawa setelah mengalami luka bakar hingga 80 persen. Namun apakah benar bahwa orang tersebut adalah maling yang pantas dihakimi warga hingga meninggal? Benar atau salah orang tersebut adalah maling atau bukan, Sekalipun bukti menyatakan ia adalah maling tetap tidak bisa memperlakukan manusia dengan tindakan biadab tersebut. 

Tindakan main hakim sendiri yang dilakukan sekelompok anak muda di Jalan Pasar Muara bekasi tersebut merupakan gambaran budaya primitive bangsa yang masih terjebak dalam feodalisme dan penindasan. Amuk masa adalah perbuatan melanggar hukum karena tidak melibatkan pihak berwajib untuk memutus kasus pencurian tersebut.

Mari beralih ke kasus lain, dimana kasus persekusi tidak tunggal namun melibatkan ormas agama. pada bulan juni 2017 masih segar dalam ingatan kita tentang praktik persekusi berupa pengeroyokan di cipinang. Kasus ini terpublikasi setelah video berdurasi dua menit itu menyebar luas di media sosial. Dalam video tersebut korban seorang remaja dikerumuni belasan orang  karena dituduh mengolok-olok salah satu ormas keagamaan beserta pimpinannya melalui postingan media sosialnya.[iii] Demikianlah contoh-contoh kasus persekusi atas tubuh manusia yang oleh sebagian kaum tindakan pengambilan hak atas tubuh melalui kekerasan dianggap pembenaran mengatasnamakan kepentingan.

          Nah, di era ini apakah kita akan memaklumi praktik feodalisme dan perbudakan atas tubuh melalui persekusi? Tubuh manusia bukanlah barang. Dalam kondisi inilah konsep hak dengan tujuan kemanusiaan memberikan dasar yang kuat tentang hak atas tubuh[iv] yang berarti manusia memiliki hak dasar kebutuhan untuk dilindungi. Jangankan untuk disakiti oleh individu lain, terhadap dirinya sendiri terdapat pembatasan penggunaan tubuh oleh diri manusia. Pemilik tubuh sendiri meskipun memiliki kekuasaan atas dirinya, namun hak atas tubuh sendiri dibatasi karena tak melulu tubuh bisa diatur seperti benda. Tubuh dan nyawa seperti sebuah kesatuan, terdapat satu nilai yang harus diterapkan dalam tubuh yaitu nilai kemanusiaan.

            Menyitir kalimat dari Yuval Noah Harari bahwa orang bisa menjadi raja, menjadi Tuhan jika sudah bisa menakhlukkan 3 hal, pertama adalah bencana kelaparan, bencana penyakit dan terakhir bencana kematian. Diprediksi bahwa apabila telah sanggup mengatasi ketiga problem tersebut maka manusia tidak lagi menjadi manusia, tapi sudah menjadi homodeus (manusia setengah dewa) yang mana tidak lagi membutuhkan Tuhan dalam berpraktek kehidupan sebagai makluk hidup.[v]Jika sudah demikian akankah manusia masih membutuhkan nilai-nilai kemanusiaan?
            Menolak Hukum Rimba

           Kekecutan hati dan ketidakpercayaan akan keadilan dan hukum di negeri ini merupakan sebab orang berdalih menjadi algojo-algojo persekusi dibanding meyerahkan persoalan pada pihak berwajib.  Persekusi mengakar dan tumbuh mulai dari bentuk paling sederhana. Padahal, Hukum dipandang sebagai wadah praktik praktik realisasi keadilan  nyatanya kepatuhan masyarakat terhadap hukum di negeri ini cukup sulit ditegakkan. 

        Lantas, dimanakah kiranya kedudukan hukum mengatur dan memperhatikan hak tubuh manusia? Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memang memuat spesifik hak atas tubuh sedang formulasi hukum pidana dalam KUHP diterapkan pada orang lain yang melakukan perbuatan pidana kepada seseorang yang menjadi korban.Hubungan diri dengan tubuh adalah hubungan tanggung jawab atas hidupnya dengan mencerminkan penghargaan atas diri sebagai ciptaan Tuhan yang Maha kuasa.
          Penegakan hukum pihak kepolisian sebenarnya cukup ampuh dalam menyikapi kejahatan persekusi,apalagi saluran media sosial semakin memudahkan masyarakat untuk menolak dan melawan praktik persekusi untuk kemudian dilaporkan kepada pihak yang berwenang. 

          Di Indonesia, sebenarnya telah disediakan pasal-pasal untuk menjerat pelaku persekusi, misalkan Pasal 80 ayat 1 jo Pasal 76c UU nomor 35 tahun 2014 untuk perlindungan anak, Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan, Pasal 368 tentang pemerasan dan pengancaman, Pasal 351 tentang penganiayaan. Dengan adanya tindakan tegas itu diharapkan dapat mencegah munculnya.

          Selain, payung hukum diatas, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga hadir sebagai lembaga mandiri yang didirikan dan bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban. LPSK bersifat  mandiri namun bertanggung jawab kepada Presiden. [vi] Tugas dan kewenangan LPSK diatur dalam UU No 13 Tahun 2006.Tujuan Undang-undang ini adalah untuk memfasilitasi memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana. (http://lpsk.go.id)
          
          Demikian banyak jaminan fasilitas hukum dinegeri ini untuk kita manfaatkan demi menjaga diri dari segala bentuk kekerasan. Pada akhirnya kita perlu menyadari betapa sejak kelahirannya, sejatinya manusia memiliki kuasa atas tubuhnya. Ia sekuat tenaga menolak segala bentuk rasa sakit yang mengancam badaniah  hingga masa kematiannya.

 Kepemilikan tubuh individu semakin diakui baik dalam ruang privat sebagai individu seutuhnya atau dalam ruan publik dalam bermasyarakat sejak “declaration of Human rights 1958. Patut direnungkan, sebagai upaya preventif menaggulangi persekusi dapat dimulai dari membangun kesadaran apakah kita memilih menjadi masyarakat yang cerdas dan patuh dan memanfaatkan bantuan hukum sebagai alat penjaga eksistensi hak atas tubuh manusia? Atau justru memilih untuk main hakim sendiri dan menjunjung tinggi kedaulatan hukum rimba?

  #DiamBukanPilihan #LPSKMelindungi


[i] Detik.com.diakses pada 12 september 2017 pukul 16.36 wib. Sebagaimana diungkapkan Kombes Niko Afinta dalam jumpa pers di Polda Metro Jaya, Jakarta, Minggu (10/8/2017).
[ii] S.L Wasburn.dalam eric from .Akar kekerasan.Pustaka pelajar: halaman 176
[iii] Kompas.com “seorang tersangka kasus persekusi di cipinang mengaku anggota FPI”.diakses pada Rabu, 13 september 2017, pukul 15.06 wib.
[iv] Hwian Christianto.2011. Konsep Hak Seseorang Atas Tubuh Dalam Transplantasi Organ Berdasarkan Nilai Kemanusiaan.
[v] Yuval Noah Harari. Homodeus.published by Harvill Secker 2016
[vi] (https://lpsk.go.id/)





Comments

Popular posts from this blog

GEGER TENGGER : PERUBAHAN SOSIAL DAN PERKELAHIAN POLITIK

Highlight "The Textuality of Archive" by Andrew Prescott

Melacak Jejak Kisah-Kisah Sejarah dalam Al-Qur’an